Budaya Simalungun


Riwayat asal mula kerajaan Simalungun hingga kini belum diketahui pasti, terutama tentang kerajaan pertama yakni Nagur (Nagore, Nakureh). Demikian pula kerajaan Batanghiou serta Tanjung Kasau. Kehidupan kerajaan ini hanya dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan petualang dunia terutama Marcopolo dan petualang dari Tiongkok ataupun dari hikayat-hikayat (poestaha partikkian) yang meriwayatkan kerajaan tersebut. Di zaman purba wilayah Simalungun mempunyai

2 buah kerajaan besar yaitu pertama kerajaan Nagur yang ada di dalam catatan Tiongkok abad ke-15 (“Nakuerh”) dan oleh Marcopolo tatkala ia singgah di Pasai tahun 1292 M. kerajaan besar itu menguasai wilayah sampai-sampai ke Hulu Padang-Bedagai dan Hulu Asahan. Kerajaan tua yang lain ialah Batangio yang terletak di Tanah Jawauri (Tanoh Jawa). Pada masa itu, kerajaan Simalungun dikenal dengan nama harajaon na dua (kerajaan yang Dua)Selanjutnya, diketahui bahwa pasca keruntuhan kerajaan Nagur, maka terbentuklah harajaon na opat (kerajaan Berempat) yaitu: Siantar, Tanoh Jawa, Panai dan Dolog Silau. Ke-empat kerajaan ini menjadi populer pada saat masuknya pengusaha kolonial Belanda, dimana tiga kerajaan yakni Tanoh Jawa, Siantar dan Panei bekerjasama dengan pengusaha kolonial dalam memperoleh perijinan tanah. Setelah masuknya Belanda terutama sejak penandatanganan perjanjian pendek (korte verklaring) maka tiga (3) daerah takluk (partuanan) Dolog Silau di naikkan statusnya menjadi kerajaan yang sah dan berdiri sendiri, yakni Silimakuta, Purba dan Raya. Pada saat itu, kerajaan di Simalungun dikenal dengan nama harajaon na pitu (kerajaan yang Tujuh).

Simalungun Sumatera Timur.Akhir dari kerajaan Simalungun ini adalah terjadinya amarah massa pada tahun 1946 yang dikenal dengan revolusi Sosial. Sejak saat itu, peradapan rumah bolon (kerajaan) Simalungun punah selama-lamanya. Dengan uraian singkat diatas, penulis berkeinginan untuk menulis kembali sejarah berdiri dan hanucrnya kerajaan.Atas dasar inilah, penulis berkeinginan untuk mendeskripsikan kembali sejarah bangun dan hancurnya kerajaan Simalungun Sumatera Timur yang banyak diriwayatkan dalam sejarah Simalungun.

Tiga fase Kerajaan Simalungun.

Secara historis, terdapat tiga fase kerajaan yang pernah berkuasa dan memerintah di Simalungun. Berturut-turut fase itu adalah fase kerajaan yang dua (harajaon na dua) yakni kerajaan Nagur (marga Damanik) dan Batanghio (Marga Saragih). Berikutnya adalah kerajaan berempat (harajaon na opat) yakni Kerajaan Siantar (marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak) dan Tanoh Jawa (marga Sinaga). Terakhir adalah fase kerajaan yang tujuh (harajaon na pitu) yakni: kerajaan Siantar (Marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak), Tanoh Jawa (marga Sinaga), Raya (marga Saragih Garingging), Purba (marga Purba Pakpak) dan Silimakuta (marga Purba Girsang).Seperti yang dikemukakan diatas bahwa asal muasal kerajaan Simalungun tidak diketahui secara pasti terutama dua kerajaan terdahulu yakni Nagur dan Batanghiou. Sinar (1981) mengemukakan bahwa kerajaan Nagur telah ada dalam catatan Tiongkok abad ke-15 (“Nakuerh”) dan oleh Marcopolo tatkala ia singgah di Pasai tahun 1292 M. Kerajaan besar itu menguasai wilayah sampai ke Hulu Padang-Bedagai dan Hulu Asahan.

Kerajaan tua yang lain ialah Batangio yang terletak di Tanah Jawauri (Tanoh Jawa). Kendati konsepsi raja dan kerajaan di Simalungun masih kabur, akan tetapi, Kroesen (1904:508) mengemukakan bahwa konsep raja dan kerajaan itu berasal dari orang Simalungun itu sendiri sebagai perwujudan otonomi kekuasaan yang lebih tinggi. Bangun dalam Saragih (2000:310) mengemukakan bahwa kata ‘raja’ berasal dari India yaitu ‘raj’ yang menggambarkan pengkultusan individu penguasa. Mungkin saja konsep itu terbawa ke Simalungun akibat penetrasi kerajaan Hindu-Jawa seperti Mataram lama pada masa ekspansi ke Sumatera Timur (Tideman,1922:58). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengaruh Hindu di Simalungun dapat diamati langsung dari bentuk peninggalan yang mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa. Nama kerajaan Tanoh Djawa setidaknya telah mendukung argumentasi itu Menurut sumber Cina yakni Ying-yai Sheng-ian, pada tahun 1416

kerajaan Nagur (tertulis nakkur) berpusat di Piddie dekat pantai barat Aceh Dikisahkan bahwa raja nagur berperang dengan raja samudra (Pasai) yang menyebabkan gugurnya raja Samodra akibat panah beracun pasukan Nagur. Pemaisuri kerajaan Samodra menuntut balas dan setelah diadakannya sayembara, maka raja Nagur berhasil ditewaskan. Kendati demikian, sejarawan Simalungun sepakat bahwa lokasi ataupun pematang kerajaan Nagur adalah di Pematang Kerasaan sekarang yang berada dekat kota Perdagangan terbukti dengan adanya konstruksi tua bekas kerajaan Nagur dari ekskavasi yang dilakukan oleh para ahli (Tideman, 1922:51). Mengenai polemik tentang lokasi defenitif kerajaan Nagur pernah berada dekat Pidie (Aceh) dapat dijelaskan sebagai akibat luasnya kerajaan Nagur. Oleh karenanya, raja Nagur menempatkan artileri panah beracunnya pada setiap perbatasan yang rentan dengan invasi asing.

Kerajaan Batanghio, tidak ditemukan tulisan-tulisan resmi tentang riwatnya maupun pustaha yang mengisahkan asal-usulnya. Hanya saja Tideman (1922) menulis dalam nota laporan penjelasan mengenai Simalungun. Oleh para cerdik pandai Simalungun, Batanghio pada awalnya dipercaya sebagai partuanon Nagur, akan tetapi karena kemampuannya dan karena luasnya kerajaan Nagur, maka status partuanon itu diangkat menjadi kerajaan. Pada tahun 1293-1295, kerajaan Nagur dan Batanghio diinvasi kerajaan Singasari dengan rajanya yang terkenal, Kertanegara. Ekspedisi itu dikenal dengan ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Panglima Indrawarman yang berasal dari Damasraya Djambi (Wibawa, 2001:14-15) yang kemudian mendirikan Kerajaan (Dolog) Silou pada akhir abad XIV. Untuk mempertahankan, daerah vasalnya, maka raja nagur menyerahkan kekuasaannya kepada para panglima dan mempererat hubungan dengan pematang (central kekuasaan) semakin erat dan kokoh.

Dengan demikian di Simalungun sampai pada tahun 1883 terdapat kerajaan yang sifatnya konfederasi (Dasuha dan Sinaga, 2003:31) yakni kerajaan Siantar (Damanik), Panei (Purba Dasuha), Dolog Silau (Purba Tambak) dan Tanoh Jawa (Sinaga). Wilayah Dolog Silau yang begitu luas dan intensya pertikaian antar huta, maka dibentuklah tiga partuanon, yakni Partuanon Raya (Saragih Garinging), Partuanon Purba (Purba Pakpak) dan Partuanon Silimahuta (Purba Girsang). Strategi ini ditempuh untuk mempererat kekuasaan Dolog Silau dan tiga kerajaan besar lainnya.

Setelah penandatanganan perjanjian pendek (korte verklaring) pada tahun 1907 yang intinya tunduknya seluruhnya kerajaan kepada kolonial, maka untuk mempermudah urusan administrasi serta mempermuda politik devide et impera, maka status partuanon dari tiga partuanon Dolog Silou itu dinaikkan statusnya menjadi kerajaan. Yakni kerajaan Silimahuta (Purba Girsang) yang Pematang nya di Pematang Nagaribu, kerajaan Purba (Purba Pak-pak) dengan pematang di Pematang Raya. Dengan demikian setelah penandatanganan Korte Verklaring, Simalungun mengenal tujuh kerajaan yang bersifat konfederasi, yakni dikenal dengan sebutan Kerajaan nan tujuh (harajaon Na pitu-siebenvorsten) (Tambak,1982:20-128; Tideman,1922:3-11). Pasca penandatanganan perjanjian pendek (korte verklaring) itu, maka oleh pemerintah kolonila Belanda, penguasa pribumi (native states) ditugaskan untuk mengurus daerahnya sendirinya sebagai penguasa swapraja. Sebagai penguasa daerah yang otonom mereka memiliki status sebagai kepala pemerintahan daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tinggalkan pesan !!!